Jumat, 10 Oktober 2008

Laskar Pelangi dan Aksesibilitas (sebuah ide garing)

Sekitar dua hari yang lalu, gara-gara insomnia saya kambuh lagi, secara tidak sengaja saya menonton acara Barometer di SCTV sekitar jam 12 malam. Acara semacam talkshow itu sedang mengulas kesuksesan film Laskar Pelangi (Filangi). Dari pihak Laskar Pelangi -tentunya- ada Andrea Hirata penulis buku Laskar Pelangi (Bulangi) dan Riri Riza salah satu sutradara Filangi, yang bikin seru selain mereka berdua juga ada pembicara lain yang sifatnya sebagai komentator, bukan satu-dua tapi gak tanggung-tanggung sampai ada delapan orang! Saking banyaknya yang saya inget cuma beberapa, ada Kak Seto, Prof. Komarudin Hidayat, Slamet Rahardjo, Giring Nidji, Basuki (Ex Bupati Belitung -temen sekolahnya Andrea), sisanya gak inget namanya tapi ada kritikus film, dosen Ilmu Komunikasi UI, wartawan film, wakil dari pembaca dan seorang kritikus sastra (yang keliatannya sok jago nulis sastra, mencap buku Laskar Pelangi tidak layak disebut sebagai karya sastra dan karenanya disindir habis-habisan oleh Andrea selama talkshow).

Anyhow, ada part di mana dosen Komunikasi UI bercerita tentang rasa bersalahnya pada seorang kolega di sebuah kota besar di Kalimantan (tidak disebutkan kota apa). Ceritanya sang dosen merekomendasikan koleganya via sms untuk segera menonton Filangi, kira-kira seperti ini sms-annya mereka,
dosen : "Best Indonesian Movie of the Century lah! Kau harus nonton!"
kolega : "Bukannya tak mau bang, tapi disini tak ada bioskop."
Jdangggg!!! Owh, miris sekali! Tapi mirisnya bukan karena di kota itu gak ada bisokop, tapi lebih karena masalah aksesibilitas.
Disini letak masalahnya..
Laskar Pelangi, setidaknya buat saya, bolehlah dikatakan sebagai karya hebat yang bisa jadi semacam pembangkit keberanian untuk bermimpi dan penggerak kemauan untuk bertindak menggapai mimpi kita masing-masing. Top markotop!!
Tapi sayangnya justru tidak menyentuh mereka yang -menurut saya- paling membutuhkannya. Siapa yang lebih membutuhkannya bos ipin? Yang paling urgent ya anak-anak serta remaja usia sekolah dengan tingkat ekonomi lemah dan anak serta remaja di daerah terpencil, yang karena usia mudanya masih punya banyak kesempatan untuk mengubah nasib mengejar mimpi. Dan mereka inilah yang justru tidak punya akses terhadap Bulangi dan Filangi! Tidak punya akses menurut saya setidaknya mungkin karena dua hal, pertama tidak ada sarana distribusi film atau cetak (tidak ada bioskop dan toko buku) dan kedua karena tidak ada "waktu" (sedang waktu adalah uang, gak punya duit maksudnya). Jadi intinya adalah, gimana caranya biar Bulangi dan Filangi bisa diakses oleh semua orang Indonesia, bukan cuma oleh mereka yang berada di perkotaan -yang punya bioskop dan toko buku-, dan mereka yang punya cukup uang buat beli tiket bisokop atau membeli buku. Bagaimana caranya agar Bulangi dan Filangi bisa diakses oleh mereka yang ada di taraf ekonomi lemah, yang harapannya sudah hampir pupus, dan oleh mereka yang terpencil karena lokasi. Andrea Hirata malah sudah mengungkap jelas harapannya pada Depdiknas di penghujung talkshow. "Ya mudah-mudahan saja film Laskar Pelangi bisa selalu diputar setiap memperingati Hari Pendidikan di Indonesia". Semacam film G30S/PKI yang biasa diputar tiap 30 September (btw, bulan kemarin diputar tidak ya?) . Sayangnya ya respons Depdiknas malah bisa dibilang tidak ada, atau belum ada, entah kapan..

Well, anyway here's my silly idea..
Film Laskar Pelangi on Layar Tancap Keliling
Idenya adalah membuat pertunjukan layar tancap Laskar Pelangi keliling di kota-kota kecil di seluruh Indonesia. Bukannya hanya satu, mungkin perlu ada beberapa tim di masing-masing Provinsi. Bisa saja misal diputar per kelurahan atau per kecamatan atau bekerjasama dengan organisasi pemuda lokal.
Stepnya? Langkah awalnya tentu harus bisa dapat izin tayang dari Produser, jangan main bajak lah. Dari sisi materi tentu mereka sudah balik modal kan? Lagipula bisa dijadikan pembuktian bahwa tujuan pembuatan Filangi tidak melulu berupa profit.
Next step nya tentu menggalang sokongan dana, kalau soal ini saya lebih prefer agar bisa dicari sokongan dari NGO asing ketimbang merongrong departemen terkait di Jakarta. Beberapa pemerintah daerah malah tampak akan lebih kooperatif untuk memberi sokongan dalam hal ini.
Next step nya ya eksekusi, buat tim di tiap daerah, mempersiapkan sarana, mempersiapkan rencana tayang dst.
Tapi kenapa layar tancap? Intinya adalah untuk memberikan experience yang sama dengan menonton bioskop. Memberikan kesan yang lebih mendalam dengan media yang lebih dikenal oleh masyarakat kelas bawah atau terpencil. Menonton secara massal juga dapat mempermudah untuk mengarahkan emosi yang diharapkan dapat dirasakan oleh audiens. Tidak ada keraguan untuk tertawa atau menangis, saat penonton di sebelah anda juga merasakan hal yang sama, benar gak? Dan yang terpenting, pesannya bisa lebih nyampe, itu!
Kenapa tidak menunggu diputar nasional saja di TV Nasional? Bisa saja, tapi apa anda pernah menonton film layar lebar yang diputar ulang di televisi? Terasa tidak, ada sesuatu yang berbeda (selain potongan iklan) ? Klo menurut saya salah satunya ya efek menonton secara massal tadi, lebih sulit kita merasakan emosinya jika menonton di layar TV. Tapi jangan sampai deh, Laskar Pelangi jadi Sinetron di TV.. Amit-amit!!! Ah, anda tahu kan kualitas tayang sinetron Indonesia?
Ide ini menurut saya sendiri memang masih mentah, tapi ya barangkali ada rekan yang sependapat dengan saya, atau mau mengkritisi, atau lebih keren lagi malah punya kekuatan lebih untuk mewujudkan ide saya ini. Ya monggo! Ide ini bebas diadaptasi, tanpa hak paten, pokonya gimana caranya agar pesan dari Laskar Pelangi bisa diakses oleh lebih banyak orang di Indonesia. -Asal nama saya jangan lupa disebut-sebut sebagai pencetus ide ya, biar bisa jadi seleb gitu..hahaha-

6 komentar:

Fendrri mengatakan...

blog baru pin, kumaha kabar?

Anonim mengatakan...

Jadi inget masa kecil saat rancaekek teh begitu berasa desanya..secara gt meser acuk ka bandung teh hal yang hanya dilakukan orang tertentu aja. Waktu itu..masih kelas 4 SD-an lah..yang diinget nonton perjuangan budi utomo pas bandung lautan api (kalo ga salah..)atau pas kejadian 10 November di surabya ya?-haduh really hard to remember-..saat itu anak-anak dari 2 SD disatuin dalam 2 ruangan kelas yang bisa dibuka sekatnya kalau sedang diperlukan. Terus semua jendela ditutup..biar gambar hitam putih itu jelas terlihat.Yang diinget saat itu..hareudang da semua akses udara ditutup..ribut pisan(suara proyektor yang berputar, suara anak2 SD, suara tukang jajanan diluar)..duduk dilantai yang udah ga jelas itu teh tembok apa tanah..Hasilnya dyne lupa apa yang dyne tonton..(kejadian dibandung apa di surabaya ya?).Tapi ga sia-sia sih..pas saat itu malah dapat kenalan dari SD lain..sampai skr pun masih berteman..

duh romantika layar tancap..

Sepakat dengan kang ipin tapi suasananya mesti diatur biar tepat sasaran..

tendy mengatakan...

stuju sekali bos! setidaknya buku nya lah yang diperluas aksesnya, supaya menumbuhkan budaya membaca juga, hehehe, sekalian weh atuh bikin proyek penyebar luasan Bulangi....hehehehe

arifin mengatakan...

*fendrri : kabar baik juragan, asoy geboy bin enjoy lah..tampak betah di japun, bung fendrri?

*dyne : kasian ya orang rancaekek, beli baju aja harus ke 'bandung' =P

*tendy : nah, klo buku mah barriernya ada di mayoritas masyarakat Indo yang malas membaca, blm klo ada yang buta huruf. gitu loh bos =)

Anonim mengatakan...

ipin pengen jadi seleb juga, kayak gw aja, hahah.. makin pengen nonton nih film yang top markotop ini, memang jauh lebih penting dari pada film yang biasanya tayang 30 sept :D (btw, taun lalu juga ga tayang ko di tv)

-kirara- mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.